1. Makna Aqiqah
Aqiqah adalah sebuah kegiatan menyembelih hewan
ternak yaitu kambing/domba sebagai rasa kesyukuran kita kepada Alloh
SWT atas karunia anak laki-laki atau perempuan. Hukumnya adalah Sunnah
bagi orang tua atau wali dari anak tersebut. dalam hadits dinyatakan
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan
dicukur rambutnya serta diberi nama” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Pelaksanaannya bisa dihari ketujuh, empat belas dan dua puluh satu atau
pada hari-hari yang lainnya yang memungkinkan. Nah kemudian muncul
pertanyaan, gimana kalau mengaqiqahi orang yang sudah dewasa, karena
saat kecil belum ada dana atau tidak sempat untuk menyelenggarakannya ?
Satu ketika al-Maimûni bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?â€
Imam Ahmad menjawab, “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika
kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak
menganggapnya makruh.â€
Para pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri.†[1]
Para pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri.†[1]
Kemudian mengenai jumlahnya adalah kita bisa menyitir
hadits Rasullullah “Dari Ummi Kurz Al-Ka’biyyah, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Untuk anak laki-laki dua ekor
kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor
kambing” (HR. Ahmad 6/422 dan At-Tirmidzi 1516)
Aqiqah memiliki tujuan untuk meningkatkan jiwa sosial
dan tolong-menolong sesama tetangga di lingkungan sekitar, menanamkan
jiwa keagamaaan pada anak, sebagai tanda syukur kita kepada Allah SWT
atas segala nikmat dan rejeki yang diberikan kepada kita selama ini. [2]
Dalam pelaksanaan aqiqah sebaiknya dilakukan sendiri
oleh orang tua bayi. Kalau ingin menitipkannya kepada orang lain, kita
harus yakin bahwa hal tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan
syari’ah. Jangan sampai kita menitipkan sejumlah uang kepada suatu
lembaga atau perorangan, kemudian uang tersebut dibagikan langsung
sebagai pengganti daging. Praktek yang demikian tentunya tidak sesuai
dengan tuntunan sunnah yang mensyaratkan adanya penyembelihan hewan
dalam pelaksanaan aqiqah. [3]
2. Mencukur Rambut
Mencukur rambut bayi merupakan sunah Mu’akkad, baik
untuk bayi laki-laki maupun bayi perempuan yang pelaksanaannya dilakukan
pada hari ketujuh dari kelahiran dan alangkah lebih baik jika
dilaksanakan berbarengan dengan aqiqah.
Faedah dari mencukur rambut bayi tersebut, Ibnu
Al-Qoyyim berkata: “Mencukur rambut adalah pelaksanaan perintah
Rasulullah SAW untuk menghilangkan kotoran. Dengan hal tersebut kita
membuang rambut yang jelek/lemah dengan rambut yang kuat dan lebih
bermanfaat bagi kepala dan lebih meringankan untuk si bayi. Dan hal
tersebut berguna untuk membuka lubang pori-pori yang ada di kepala
supaya gelombang panas bisa keluar melaluinya dengan mudah dimana hal
tersebut sangat bermanfaat untuk menguatkan indera penglihatan,
penciuman dan pendengaran si bayi” (Athiflu Wa Ahkamuhu, hal 203-204)
Kemudian rambut yang telah dipotong tersebut ditimbang dan kita
disunahkan untuk bersedekah dengan perak sesuai dengan berat timbangan
rambut bayi tersebut. Ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW kepada
puterinya fatimah RA :“Hai Fatimah, cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat timbangan rambutnya kepada fakir miskin” (HR Tirmidzi 1519 dan Al-Hakim 4/237)
Dalam pelaksanaan mencukur rambut, perlu diperhatikan larangan Rasulullah SAW untuk melakukan Al-Qaz’u, yaitu mecukur sebagian rambut dan membiarkan yang lainnya (HR. Bukhori Muslim). Ada sejumlah gaya mencukur rambut yang termasuk Al-Qaz’u tersebut :
Nama bagi seseorang sangatlah penting. Ia bukan hanya merupakan identitas pribadi dirinya di dalam sebuah masyarakat, namun juga merupakan cerminan dari karakter seseorang. Rasululloh SAW menegaskan bahwa suatu nama (al-ism) sangatlah identik dengan orang yang diberinama (al-musamma)
Dari Abu Hurairoh Ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Kemudian Aslam semoga Alloh menyelamatkannya dan Ghifar semoga Alloh mengampuninya” (HR. Bukhori 3323, 3324 dan Muslim 617)
Ibnu Al-Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya. Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama-nama terhadap yang diberi nama (Al-musamma) maka perhatikanlah hadis di bawah ini:
Dari Said bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya Ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW, beliau pun bertanya: “Siapa namamu?” Aku jawab: “Hazin” Nabi berkata: “Namamu Sahl” Hazn berkata: “Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku” Ibnu Al-Musayyib berkata: “Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya” (HR. Bukhori 5836) (At-Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al-’Isawiy hal 65)
Oleh karena itu, Rasululloh SAW memberikan petunjuk nama apa saja yang sebaiknya diberikan kepada anak-anak kita. Antara lain:
Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasululloh SAW telah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling disukai oleh Alloh adalah Abdulloh dan Abdurrahman” (HR. Muslim 2132)
Dari Jabir Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “Namailah dengan namaku dan jangnlah engkau menggunakan kun-yahku” (HR. Bukhori 2014 dan Muslim 2133)
Mengenai pelaksanaannya kita bisa mengundang para
tetangga dalam syukuran aqiqahan ini atau membagi-bagikan daging aqiqah
kepada mereka. Dengan sendirinya ini juga merupakan proses
memperkenalkan jabang bayi yang baru lahir kepada tetangga.
0 komentar:
Posting Komentar